Just another free Blogger theme

Tampilkan postingan dengan label Technical. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Technical. Tampilkan semua postingan

Propeller shaft clearance adalah jarak bebas atau kelonggaran antara poros baling-baling (propeller shaft) dengan komponen lain di sekitarnya, terutama stern tube bearing. Clearance ini sangat penting untuk memastikan pelumasan, mencegah gesekan berlebih, dan menghindari kerusakan poros maupun bearing.






Jenis clearance pada propeller shaft:

  1. Stern tube bearing clearance (longitudinal & radial). Radial clearance → celah antara diameter luar poros dengan diameter dalam bearing stern tube. Biasanya sekitar 0,3 – 0,6 mm per 100 mm diameter poros (tergantung aturan klasifikasi kapal). Longitudinal clearance (end play) → kelonggaran gerakan poros maju-mundur di bearing.
  2. Stuffing box / Seal clearance. Celah antara poros dengan gland packing atau mechanical seal, agar tidak terlalu ketat yang bisa menimbulkan panas berlebih.
  3. Propeller boss clearance. Jarak bebas antara shaft dengan propeller boss hole sebelum dipasang key dan dikunci. Clearance ini harus minimal agar tidak terjadi misalignment.


Clearance pada poros propeller menjadi sangat penting untuk,

  • Memberi ruang untuk sistem pelumas (oil/grease/seawater).
  • Mengurangi risiko keausan akibat gesekan langsung.
  • Memungkinkan ekspansi termal poros saat operasi.
  • Menjaga agar getaran tidak merusak bearing dan poros.


Jika clearance terlalu kecil, shaft dimungkinkan bisa macet karena pengaruh dari gesekan panas berlebih. Selain itu, media pelumas dan pendingin tidak dapat masuk sehingga tingkat keausan menjadi cepat.


Jika clearance terlalu besar, vibrasi akan meningkat dan bearing akan cepat mengalai ke-aus-an.


Pengukuran clearance propeller shaft, titik pengambilannya tidak hanya di satu tempat, tetapi di beberapa posisi sepanjang stern tube bearing maupun aft bearing. Tujuannya agar hasil ukur akurat dan bisa mendeteksi ovalitas (keausan tidak merata) atau misalignment.


Titik pengambilan clearance propeller shaft di bearing belakang (aft stern tube bearing) pada posisi jam 12 (atas), jam 3 (kanan), jam 6 (bawah), jam 9 (kiri). Hal ini bertujuan untuk mengetahui radial clearance & apakah bearing aus merata.


Alat ukur yang digunakan adalah feeler gauge dan/atau wear-down gauge menyesuaikan konstruksi stern-tube bearing.





Pengukuran clearance propeller shaft.

Propeller Shaft Grounding System di kapal adalah sistem yang menghubungkan poros baling-baling (propeller shaft) ke badan kapal melalui jalur listrik terkontrol untuk mencegah kerusakan akibat arus listrik galvanis dan korosi. 


Propeller shaft grounding system. (Foto: Dokumentasi penulis).


Sistem ini menggunakan sliding contact brush (biasanya berbahan karbon atau logam campuran) yang menempel pada permukaan poros baling-baling. Brush tersebut dihubungkan dengan kabel ke grounding plate yang terkoneksi dengan badan kapal.

Tujuan pemanfaatan propeller shaft grounding system adalah,

  1. Mencegah electrical pitting pada bearing. Arus listrik yang timbul dari perbedaan potensial antara poros dan badan kapal bisa melewati bantalan, menyebabkan pitting (lubang kecil) pada permukaan bantalan thrust atau stern tube.
  2. Mengurangi korosi galvanis pada propeller dan shaft. Perbedaan potensial listrik antara logam baling-baling (biasanya perunggu atau stainless) dan logam badan kapal (baja) dapat mempercepat korosi jika tidak dikendalikan.
  3. Melindungi sistem pelumasan stern tubeArus yang melewati pelumas dapat memecah lapisan pelumas dan mempercepat kerusakan pada white metal bearing.
  4. Mengurangi interferensi elektronik. Mengarahkan arus stray agar tidak mengganggu peralatan navigasi atau komunikasi kapal.

Secara sederhana, propeller shaft grounding system berfungsi sebagai “jalur aman” bagi arus listrik agar tidak merusak bantalan dan bagian logam di sekitar sistem propulsi, sehingga umur pakai shaft dan bearing bisa lebih panjang.


Oil Mist Detector (OMD) adalah perangkat sensorik yang dirancang untuk mendeteksi keberadaan kabut oli (oil mist) di dalam ruang mesin diesel pembakaran dalam (internal combustion engine).

Kabut oli dapat muncul akibat gesekan berlebih, panas tinggi, atau kerusakan pada bagian internal mesin. Jika tidak terdeteksi, kabut oli dapat menyebabkan ledakan atau kebakaran yang merusak mesin secara fatal.

Kadar oil mist dalam crankcase harus dideteksi karena kabut oli terdiri dari partikel-partikel oli yang tersuspensi di udara dalam bentuk aerosol. Dalam konsentrasi tertentu, campuran udara dan kabut oli bisa menjadi sangat mudah terbakar. Oleh karena itu, deteksi dini sangat penting untuk:

  Mencegah kebakaran atau ledakan.

  Menghindari kerusakan mesin.

  Menjaga keselamatan operator, kru dan lingkungan sekitarnya.

Oil mist detector bekerja dengan menghisap udara dari ruang engkol (crankcase) mesin dan menganalisis kandungan kabut oli di dalamnya. Sensor optik atau inframerah biasanya digunakan untuk mengukur kerapatan partikel oli. Jika konsentrasi melampaui batas yang ditentukan (biasanya diukur dalam mg/L atau ppm), maka sistem akan mengirimkan alarm atau bahkan menghentikan mesin secara otomatis.

Tampilan indicator OMD yang terpasang pada mesin. (Foto: Dokumentasi penulis).


Komponen Utama OMD:

  Sensor deteksi kabut oli.

  Sistem pengambilan sampel (sampling system).

  Unit kontrol (control unit).

  Alarm dan interface pengguna.

Jenis-jenis oil mist detector

  Static (Fixed) OMD – Terpasang secara permanen pada mesin besar, biasanya dengan multi-point sampling.

  Portable OMD – Digunakan untuk inspeksi manual atau troubleshooting.

  Integrated OMD – Terintegrasi dalam sistem monitoring mesin modern (engine management system).

Pemeliharaan OMD

  Pembersihan rutin: Lensa dan cermin harus dibersihkan secara berkala untuk mencegah akumulasi debu atau kabut oli.

  Pemeriksaan fungsi: Memastikan kipas ekstraksi dan katup pemilih rotari berfungsi dengan baik.

  Kalibrasi: Melakukan kalibrasi sistem secara berkala untuk memastikan akurasi deteksi.

Dalam industri pelayaran yang semakin mengutamakan efisiensi energi dan ramah lingkungan, penggunaan dual fuel engine (mesin bahan bakar ganda) pada kapal menjadi pilihan yang semakin populer. Mesin ini memungkinkan kapal untuk beroperasi dengan dua jenis bahan bakar, biasanya bahan bakar fosil dan bahan bakar alternatif, seperti LNG (Liquefied Natural Gas), LPG (Liquefied Petroleum Gas), atau bahkan biofuel.

Dual fuel engine adalah jenis mesin yang mampu beroperasi menggunakan dua jenis bahan bakar yang berbeda, umumnya bahan bakar cair (seperti Heavy Fuel Oil (HFO) atau Marine Diesel Oil (MDO)) dan bahan bakar gas (seperti LNG, LPG, atau gas alam). Mesin ini dirancang untuk berpindah di antara dua bahan bakar tersebut secara otomatis tergantung pada ketersediaan bahan bakar dan kondisi operasional kapal.

Jenis Dual Fuel Engine

  1. Dual Fuel Diesel Engine. Mesin ini menggunakan bahan bakar gas (LNG, LPG) pada saat beroperasi, tetapi jika gas tidak tersedia, mesin dapat beralih ke bahan bakar diesel atau HFO.
  2. Dual Fuel Gas Engine. Mesin ini mengutamakan penggunaan gas (LNG atau LPG) dan menggunakan bahan bakar diesel hanya untuk memulai proses pembakaran (sebagai bahan bakar pilot).

Keuntungan menggunakan dual fuel engine pada kapal,

1. Pengurangan emisi dan dampak lingkungan.

Penggunaan gas alam seperti LNG sebagai bahan bakar utama mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan dibandingkan dengan bahan bakar minyak fosil. Beberapa keuntungan utama termasuk:

· Pengurangan emisi sulfur (SOx): LNG hampir tidak mengandung sulfur, yang berarti emisi SOx dari mesin kapal berkurang drastis.

·     Pengurangan emisi nitrogen oksida (NOx): Pembakaran LNG menghasilkan emisi NOx yang lebih rendah dibandingkan bahan bakar minyak.

·   Pengurangan karbon dioksida (CO): LNG menghasilkan emisi CO yang lebih rendah dibandingkan dengan HFO atau MDO.

· Mengurangi partikel halus (PM) yang berbahaya bagi kesehatan.

2. Efisiensi energi yang lebih baik.

Mesin dual fuel yang menggunakan LNG atau LPG memiliki efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan mesin berbahan bakar HFO. Penggunaan gas menghasilkan pembakaran yang lebih bersih dan lebih efisien, yang berkontribusi pada pengurangan konsumsi bahan bakar.

3. Fleksibilitas operasional.

Kemampuan untuk menggunakan dua jenis bahan bakar memberi kapal fleksibilitas dalam pengoperasian di berbagai wilayah dengan ketersediaan bahan bakar yang berbeda. Jika LNG tidak tersedia, kapal dapat beralih ke bahan bakar diesel atau HFO.

4. Kepatuhan terhadap regulasi lingkungan.

Dengan regulasi yang semakin ketat, seperti batas emisi sulfur yang lebih rendah dari IMO 2020 dan aturan lingkungan dalam IMO MARPOL Annex VI, mesin dual fuel membantu kapal untuk memenuhi persyaratan emisi internasional dan regional.

Contoh penataan sistem pipa dual fuel engine. (gambar: https://www.sciencedirect.com/)

 

Sistem injeksi bahan bakar pada dual fuel egine. (Gambar: POUNDER’S MARINE DIESEL ENGINES AND GAS TURBIES 8TH EDITION).

 

Komponen utama dalam dual fuel engine kapal

  • Fuel injection system: Memungkinkan mesin untuk menyuntikkan dua jenis bahan bakar secara terpisah ke dalam ruang bakar.
  • Pilot fuel system: Bahan bakar ini digunakan untuk menyalakan bahan bakar gas pada saat start-up mesin, atau ketika bahan bakar gas tidak mencukupi.
  • Switch-over mechanism: Sistem otomatis yang mengalihkan mesin dari bahan bakar satu ke bahan bakar lainnya sesuai dengan kondisi operasional dan ketersediaan bahan bakar.
  • Gas supply system: Sistem yang mengalirkan gas ke mesin dalam jumlah yang tepat dan pada tekanan yang diperlukan.
  • Exhaust gas cleaning system (scrubber): Beberapa mesin dual fuel dilengkapi dengan sistem pembersih gas buang untuk memenuhi standar emisi yang ketat.

Tantangan dalam pengoperasian dual fuel engine,

1. Infrastruktur pengisian LNG yang terbatas.

Meskipun LNG menawarkan banyak keuntungan, salah satu tantangan utama adalah keterbatasan infrastruktur pengisian LNG di banyak Pelabuhan. Terutama di negara berkembang atau di daerah-daerah yang jauh dari jalur pelayaran utama. Hal ini dapat menyulitkan kapal untuk mengoperasikan dengan bahan bakar gas secara terus-menerus.

2. Biaya awal yang lebih tinggi.

Pengadaan dan instalasi mesin dual fuel biasanya lebih mahal dibandingkan dengan mesin konvensional. Selain itu, sistem penyimpanan gas LNG di kapal (terutama untuk LNG yang membutuhkan suhu rendah) juga memerlukan investasi lebih besar.

3. Keahlian teknis yang diperlukan.

Operasi dual fuel engine memerlukan perawatan dan pengoperasian yang lebih kompleks, karena mesin harus mampu beralih antara bahan bakar cair dan gas dengan lancar. Kru kapal perlu dilatih untuk mengelola sistem ganda ini secara efektif.

4. Ketersediaan bahan bakar gas.

Sumber bahan bakar gas seperti LNG tidak tersedia di semua lokasi, sehingga kapal yang menggunakan dual fuel engine harus merencanakan jalur pelayaran dengan cermat agar tetap dapat mengisi bahan bakar gas.

Dengan semakin ketatnya regulasi lingkungan global dan kebutuhan akan pengurangan emisi karbon, dual fuel engine diharapkan akan menjadi solusi utama untuk mencapai keberlanjutan dalam industri pelayaran. Teknologi ini memberikan fleksibilitas bahan bakar dan memenuhi standar emisi yang semakin ketat, meskipun ada tantangan terkait dengan biaya dan infrastruktur.

Selain LNG, bahan bakar alternatif lainnya seperti biofuel dan hidrogen juga mulai dipertimbangkan untuk pengoperasian mesin dual fuel, membuka peluang baru dalam transisi menuju sistem propulsi yang lebih ramah lingkungan.

Selective Catalytic Reduction (SCR) adalah sistem pengendalian emisi yang digunakan untuk mengurangi emisi nitrogen oksida (NOx) dari gas buang mesin diesel atau turbin gas.

Ilustrasi penataasn SCR pada mesin.

(Gambar: POUNDER’S MARINE DIESEL ENGINES AND GAS TURBIES 8TH EDITION).

Manfaat Penggunaan SCR

      Pengurangan Emisi NOx hingga 90%.

      Memenuhi standar emisi global (Euro V, Euro VI, EPA Tier IV, IMO Tier III).

      Meningkatkan efisiensi mesin – mesin bisa dioptimalkan tanpa fokus pada pengurangan NOx di ruang bakar.

      Mengurangi konsumsi bahan bakar bila dibandingkan dengan sistem EGR murni

Teknologi ini memanfaatkan reaksi kimia antara NOx dan zat reduktan seperti urea (DEF – Diesel Exhaust Fluid) di hadapan katalis, sehingga NOx diubah menjadi nitrogen (N) dan uap air (HO) dua komponen alami yang tidak berbahaya.

Komponen Utama Sistem SCR

      Injector DEF (Diesel Exhaust Fluid) Untuk menyemprotkan cairan urea ke gas buang.

      Mixer / Chamber. Mencampur urea dengan gas buang agar reaksi optimal.

      Catalytic Converter (SCR Catalyst). Tempat berlangsungnya reaksi reduksi Nox.

      Control Unit (ECU/ECM). Mengatur jumlah urea berdasarkan beban mesin dan suhu gas buang.

      NOx Sensor & Temperature Sensor. Memantau efektivitas sistem dan memastikan emisi tetap rendah

Diesel Exhaust Fluid (DEF) adalah larutan urea murni 32,5% dan air demineralisasi 67,5%. Nama dagang populer: AdBlue (Eropa), BlueDEF (Amerika). DEF bukan bahan bakar, tidak beracun, dan disimpan dalam tangki terpisah.

Cara Kerja SCR

      Suntikan Urea (DEF): Cairan urea disemprotkan ke dalam aliran gas buang panas.

      Pembentukan Amonia (NH): Urea terurai menjadi amonia saat terkena suhu tinggi gas buang.

      Reaksi Kimia di Katalis SCR: Amonia bereaksi dengan NOx di dalam katalis SCR membentuk nitrogen dan uap air.

4𝑁O + 4𝑁𝐻3 + 𝑂2 → 4𝑁2 + 6𝐻2𝑂

Dari rumus reaksi kimia diatas, gas keluar dari sistem adalah nitrogen dan air yang aman bagi lingkungan.

Perawatan system SCR meliputi,

      Urea harus disimpan dengan benar (suhu 0–30°C)

      Kualitas DEF harus dijaga untuk menghindari kristalisasi

      Filter dan katalis SCR memerlukan inspeksi berkala.

      Sistem elektronik (sensor, injektor) harus bebas gangguan.

Penataan komponen SCR pada low speed diesel engine (MAN B & W). (Gambar: POUNDER’S MARINE DIESEL ENGINES AND GAS TURBIES 8TH EDITION).